قَالَ رَسُولُ اللَّه ِصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَ سَلَّمَ :”خِيَارُ عِبَادِ اللَّهِ الَّذِينَ إِذَا رُءُوا ذُكِرَ
اللَّهُ، وَشِرَارُ عِبَادِ اللَّهِ الْمَشَّاءُونَ بِالنَّمِيمَةِ
الْمُفَرِّقُونَ بَيْنَ اْلأَحِبَّةِ الْبَاغُونَ الْبُرَآءَ الْعَنَتَ.”
(رواه أحمد والبخاري في الأدب المفرد)
Rasulullah saw. bersabda,
“Sebaik-baik hamba Allah adalah mereka yang
membuat orang lain mengingat Allah saat melihat mereka. Dan
seburuk-buruk hamba Allah adalah mereka yang berjalan ke sana ke mari
menyebarkan fitnah, yang menyebabkan perpisahan di antara orang-orang
yang saling mencintai, yang berusaha mendatangkan kesulitan kepada
orang-orang yang tidak bersalah.”
(HR Ahmad dan Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrad)
Berdasar hadits di atas, ada dua tipe seorang hamba di mata Allah
SWT. Pertama, hamba terbaik yaitu mereka yang mampu membuat orang lain
mengingat Allah ketika melihat mereka. Kedua, hamba terburuk yaitu
mereka yang suka menyebarkan fitnah dan mendatangkan kesulitan bagi
orang yang tidak bersalah.
Hamba Allah Terbaik
Menjadi hamba Allah dengan predikat
terbaik menjadi dambaan setiap muslim. Predikat terbaik di sisi Allah
adalah capaian tertinggi seorang muslim sebagai seorang hamba. Tidak ada
posisi yang lebih mulia dalam kehidupan seorang muslim kecuali Allah
benar-benar telah menetapkan orang tersebut sebagai kekasih-Nya.
Hamba terbaik di mata Allah bukanlah
semata seorang yang mampu menjalankan perintah Allah dengan istiqamah
dan menjauhi segala larangan-Nya secara sungguh-sungguh, melainkan
mereka yang mampu membuat orang lain senantiasa mengingat Allah (dzikrullâh) dalam situasi dan kondisi bagaimanapun, baik hati, pikiran, maupun tingkah lakunya.
Barometer hamba terbaik di mata Allah
tidak lagi didasarkan pada kesholehan individu semata. Tapi, bagaimana
kesholehan individu bertransformasi menjadi sebuah energi
spiritual-magnetik yang secara spontan mampu menarik orang-orang di
sekitarnya untuk senantiasa melakukan dzikrullâh. Karena itu, bagi hamba Allah terbaik, upaya menjadikan orang lain agar senantiasa melakukan dzikrullah bukanlah sesuatu yang sulit dilakukan. Modalnya: kekuatan spiritual, kematangan kepribadian, dan kedalaman pikiran.
Hamba terbaik senantiasa memancarkan nur ilahiah dari sekujur tubuhnya. Nur ilahiah ini kemudian memancar menelusup kepada siapa pun yang berada di sekelilingnya. Siapa pun yang terkena pancaran nur ilahiah
ini, sedikit banyak, akan mengalami perubahan kepribadian. Tak jarang
mereka kemudian berbalik arah menjadi seorang alim, taat, dan istiqamah
melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Prototipe hamba Allah terbaik dengan
mudah bisa kita baca pada sosok Nabi Muhammad. Sebagai seorang utusan
Allah, Nabi Muhammad menjadi cermin insan paripurna di sisi Allah
sekaligus sebagai sosok teladan bagi umatnya. Karena sosoknya yang
paripurna dan keteladanannya, banyak kaum Quraisy saat itu berbalik
menjadi seorang yang beriman kepada Allah. Keteladanan Rasulullah
diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Ahzâb ayat 21: “Sungguh,
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari
Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”
Untuk saat ini, hamba Allah terbaik, di
antaranya, direpresentasikan oleh para kiai, habib, tuan guru, dan
lainnya. Sebagai pewaris para nabi, ulama-ulama tersebut tidak saja
bertugas menyampaikan pesan-pesan ilahiah, melainkan juga “menyucikan”
hati umat yang penuh dengan kerak kotoran. Mereka adalah panutan umat
dalam banyak hal di bidang kehidupan.
Ada perasaan sejuk dan tenteram setiap kali memandang wajah ulama. Tidak ada rasa bosan dan kesal setiap kali bermuwajah
dengan para ulama. Inilah mengapa setiap kali kita memandang mereka,
tiba-tiba timbul keinginan untuk meneladani dan menjadi seperti dia.
Yaitu menjadi seorang hamba yang semakin dekat dengan Allah.
Yang perlu disadari bersama, tidak ada
keharusan menjadi “ulama” untuk menjadi hamba terbaik di sisi Allah.
Siapa pun identitas dan latar belakang sosial kita, kita memiliki hak
yang sama untuk menjadi hamba Allah terbaik. Syaratnya tentu bagaimana
menjadikan orang-orang di sekeliling kita istiqamah mengingat Allah
setiap kali melihat diri kita.
Untuk mencapai taraf itu, keteladanan yang baik (uswah hasanah)
dalam pikiran, sikap, maupun tindakan, menjadi syarat mutlak yang harus
dimiliki oleh setiap hamba manakala berharap menjadi kekasih Allah,
menjadi hamba terbaik di sisi-Nya dan di sisi manusia.
Hamba Allah Terburuk
Ada dua perilaku jahat yang selalu dilakukan oleh hamba Allah yang paling buruk. Pertama, suka menyebarkan fitnah. Kedua, suka mendatangkan kesulitan bagi orang yang tidak bersalah.
Fitnah merupakan perkataan bohong tanpa
berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang
seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang, dan lainnya.
Fitnah bersumber dari rasa dengki dan benci terhadap seseorang. Fitnah
lahir sebagai akumulasi dari ghibah dan buhtan. Fitnah
merupakan kejahatan tertinggi yang diproduksi oleh lisan. Tujuan
utamanya bagaimana agar orang-orang yang saling mencintai bisa berpisah.
Fitnah ada di mana-mana dan bisa menimpa
siapa pun tanpa pandang status. Seorang tetangga misalnya, tega
memfitnah tetangga lainnya dengan tujuan agar kehidupan keluarga
tetangga tersebut berantakan dan berakhir dengan penceraian. Atau,
karena ambisi untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi orang tega
memfitnah atasannya sehingga karirnya hancur. Taktik busuk menebarkan
fitnah untuk kepentingan pribadi atau golongan ini seringkali terjadi di
tengah-tengah kehidupan kita. Terhadap fitnah ini, orang Islam harus
selalu waspada. Waspada untuk tidak berbuat fitnah dan waspada untuk
menghadapi fitnah pihak lain dengan cara-cara yang arif, bijaksana, dan
tegas.
Begitu besarnya bahaya dan dosa fitnah, hingga Islam mengkategorikannya sebagai perbuatan yang lebih kejam dari pembunuhan (QS Al-Baqarah [2]: 191).
Bahkan, Nabi Muhammad saw menyebutkan orang yang suka menebar fitnah
sebagai calon penghuni neraka, ”Tidak akan masuk surga orang yang suka
menyebarkan fitnah.” (HR Bukhari & Muslim).
Fitnah itu ibarat menyulut ranting
kering. Ia akan cepat merebak ke mana-mana dan membakar apa pun yang
dilaluinya. Lalu, menjadi abu. Cara terbaik untuk terhindar dari fitnah
adalah jangan pernah sedikit pun terdetik di hati kita untuk memfitnah.
Ketika ada dorongan kuat dari nafsu kita memfitnah, beristighfarlah dan
mohonlah ampun kepada Allah. Insya-Allah kita selamat dari api fitnah.
Perilaku jahat seorang hamba Allah
terburuk lainnya adalah suka mendatangkan kesulitan bagi orang yang
tidak bersalah. Sikap ini biasanya bersumber dari rasa dengki atau
hasad. Dengki merupakan sifat tercela. Ia adalah perasaan tidak senang
dengan kebahagiaan orang lain, disertai keinginan agar kebahagiaan itu
hilang darinya. Karena itu, segala cara dan taktik jahat akan dilakukan
bahkan menghalalkan sesuatu yang haram sekalipun.
Betapa jahat seorang pendengki, ia tidak
rela melihat orang lain bahagia, sebaliknya ia bersuka cita melihat
orang lain bergelimang lara. Allah menggambarkan sikap dengki ini dalam
firman-Nya, “Bila kamu memperoleh kebaikan, maka hal itu menyedihkan
mereka, dan kalau kamu ditimpa kesusahan maka mereka girang karenanya.” (QS Ali Imran [3]: 120)
Sifat dengki tidak bisa dianggap remeh.
Jika virus ini terus mengendap dalam hati seseorang, cepat atau lambat
akan merusak keimanan dan kepribadian seseorang. Ia akan menjelma
menjadi usaha-usaha negatif yang merugikan. Seperti tutur kata yang
kasar dan menyakiti hati, atau perbuatan dan tindakan yang kerap
bermotif menjatuhkan, menghina dan menyudutkan. Bahkan, tidak jarang
kedengkian yang terpelihara dalam hati seseorang kemudian berbuntut
tragedi pembunuhan mengenaskan. Seperti yang pernah terjadi pada kedua
putra Nabi Adam, Qabil dan Habil.
Untuk itulah, Rasulullah saw mengajak
umatnya untuk senantiasa menjauhi sikap dengki sesuai sabdanya,
“Jauhilah dengki, karena dengki itu memakan kebaikan sebagaimana api
makan kayu bakar.” (HR Abu Daud).
Memang, manusia diciptakan dengan
kecenderungan untuk mendengki. Tetapi, orang yang beriman akan selalu
berusaha menghilangkan sifat jelek ini. Mereka tidak tertawan oleh
perasaan buruk yang jelas-jelas sangat tidak produktif dan
menyengsarakan ini. Hal itu disebabkan karena orang-orang beriman
menyadari bahwa sifat dengki akan semakin menjauhkan mereka dari Allah.
Seperti halnya mereka menyadari bahwa sikap dengki hanya akan
menyebabkan pelakukanya dimasukkan api neraka. Masihkah kita akan
bersikap dengki? Wallâhu a’lam bish-showâb.sumber : http://al-amien.ac.id/2013/03/21/hamba-terbaik-hamba-terburuk/